Klenthing Alat Dapur Tradisional Untuk Mengambil Air yang Saat Ini Dikenal Menjadi Ember

klenthing-alat-dapur-tradisional-untuk-mengambil-air
Photo: Dok/Tembi
Sebelum banyak dijumpai ember dari plastik atau bahan pvc seperti sekarang ini, pada zaman dahulu setidaknya sampai sebelum Kemerdekaan, masyarakat Jawa masih banyak menggunakan klenthing sebagai tempat air sementara. Klenthing dipakai tidak hanya oleh masyarakat Jawa saja, tetapi juga banyak ditemukan di masyarakat lain dengan nama yang berbeda tentunya.

Di pasar tradisional atau penjual alat rumah tangga dari gerabah, seperti kendhil (pendhil), kuwali, layah, dan sebagainya, harga klenting ukuran besar Rp 35.000, sementara ukuran kecil Rp 20.000. Klenthing ini dibuat dari tanah liat, seperti alat rumah tangga lain yang terbuat dari gerabah tersebut diatas. Pengerjaannya juga sama, diawali dari tanah lempung, kemudian dibentuk, dijemur, dan dibakar. Maka ketika sudah dipasarkan, warnanya kemerah-merahan seperti warna merah bata.

Masyarakat Jawa menggunakan klenthing untuk mengambil air dari sumber air, seperti sumur, belik, pancuran, telaga, sendang, dan sebagainya. Klenthing ada yang berukuran kecil dan besar. Dalam Kamus Jawa “Baoesastra Djawa” karangan WJS Poerwadarminta (1939), klenthing biasanya berukuran kecil, sementara jun berukuran besar. Memang tidak dijelaskan secara rinci, ukuran (diameter) kecil dan besarnya.

Klenthing utawa sok diarani jun ya iku piranti utawa wadhah banyu kang digawé saka lemah lempung. Mupangaté kanggo njupuk banyu utawa ing tlatah Jawa sinebut ngangsu, ana ing sumur, sendhang utawa belik lan digawa mulih kanggo adus, adang (basa Indonésia: menanak), ngombé, lan sapanunggalané. Klenthing uga piranti kang biyasa digawa déningg wong wadon. Semana uga klenthing nggawané kudu digéndhong ing bangkèkan nganggo sayuk utawa dicekeli nganggo tangan.

Di zaman yang serba modern ini, sudah sangat langka sekali alat dapar seperti ini bahkan melihatnya pun sudah sangat jarang. Sebab masyarakat sekarang sudah tidak perlu mengambil air ke mata air yang jauh dari rumah. Apalagi klenthing mudah pecah, berat dan kurang praktis. Alat ini sudah biasa digunakan oleh nenek moyang masyarakat Jawa. Bahkan sering ditemukan artefak di situs-situs cagar budaya. Bahkan ada pula cerita tentang tokoh Klenthing Kuning di zaman kerajaan Jenggala-Daha-Kediri, sebelum kerajaan Majapahit berdiri.
 
Referensi: Tembi